Sabtu, 10 Februari 2018

Optimalisasi Pengelolaan Tanah Wakaf Di Kota Cirebon Menggunakan Profit Wakaf Uang

Optimalisasi Pengelolaan Tanah Wakaf Di Kota Cirebon Menggunakan Profit Wakaf Uang

Oleh : Anisa Nurul Fauziah 

(Tulisan ini saya angkat setelah mengetahui bahwa potensi wakaf di Indonesia  cukup besar tak terkecuali di Kota kelahiran saya Cirebon, Jawa Barat).
          Dinamika perwakafan nasional semakin tahun terus mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Pengelolaan tanah wakaf saat ini mulai bergeser dari tata cara pengelolaan bersifat 'tradisional' seperti mewakafkan tanah wakaf untuk membangun masjid, madrasah, pondok pesantren, kuburan dan lain-lain mulai bergeser kepada alokasi yang lebih bisa memberikan manfaat dalam jangka panjang (long term). Saat ini, munculnya inovasi-inovasi baru dalam dunia perwakafan nasional memunculkan adanya istilah yang biasa disebut dengan wakaf produktif. Pembahasan mengenai wakaf produktif ini didalamnya termasuk wakaf uang, wakaf logam mulia, wakaf saham dan lain sebagainya.
Dalam syariah Islam , wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya ( al-manfa’ah). Dasar hukum mengenai wakaf ini sebenarnya secara umum tidak disebutkan secara jelas dalam kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an. Wakaf termasuk ke dalam infaq fii sabilillah, sehingga dasar hukum yang digunakan adalah QS. Al-Baqarah ayat 267, QS. Al-Imran ayat 92, dan QS. Al-Baqarah ayat 261. Ketiga ayat tersebut yang dijadikan landasan oleh para ulama dalam menerangkan konsep wakaf. Berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma), wakaf dijadikan sebagai salah satu amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir sekalipun orang yang berwakaf (wakif) telah meninggal dunia.Wakaf juga merupakan amalan yang sudah dilaksanakan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan Kaum Muslimin sejak awal masa Islam hingga saat ini.
Dalam konteks kenegaraan, wakaf diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang memuat peraturan didalamnya. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.[1] Dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan lebih lanjut bahwa wakaf memiliki fungsi sebagai sarana untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk kesejahteraan umum. Sorotan utama dari fungsi wakaf ini tentu untuk pengentasan masalah sosial seperti kemiskinan dan sarana meningkatkan kesejehteraan masyarakat secara luas.
Beberapa tahun belakangan ini, tengah digencar-gencarkannya terobosan mengenai wakaf produktif. Paradigma masyarakat tentang perwakafan di Indonesia mulai mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan paradigma tersebut terutama dalam hal pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen mensejahterakan masyarakat Muslim. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bisnis dan manajemen yang kemudian dikenal dengan konsep wakaf produktif[2]. Pemahaman mengenai wakaf bukan lagi terpatok pada wakaf sebidang tanah yang dalam pengelolaannya digunakan untuk pembangunan madrasah, pondok pesantren, masjid, ataupun sarana umum yang lain. Berbagai ide dan inovasi muncul guna pengembangan dunia perwakafan di Indonesia, salah satunya kemunculan wakaf uang. Wakaf uang digadang-gadang mampu menjadi alternatif solusi untuk pengentasan masalah kemsikinan dan pengembangan potensi ekonomi Indonesia.
Menilik dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, jumlah umat islam yang besar di Indonesia merupakan asset dalam perhimpunan dan pengembangan dana wakaf. [3]Berdasarkan asumsi Cholil Nafis, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp. 100.000.- setiap bulan, maka dana yang terkumpul adalah Rp. 24 Triliun setiap tahun. Jika ada 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp. 60 Triliun. Jika saja terdapat 1 juta umat Muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp. 100.000,- per bulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp. 100 miliar setiap bulannya atau setara dengan Rp.1,2 triliun per tahun. Menurut Mustafa Edwin Nasution, tentang potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim yang dermawan dipekirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp. 500.000 – Rp. 10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul dana sekitar 3 triliun per tahun dari dana wakaf seperti perhitungan tabel berikut[4] :
Tingkat penghasilan/bulan
Jumlah Muslim
Besar Wakaf/bulan
Potensi wakaf uang/bulan
Potensi wakaf uang/tahun
Rp. 500.000
4 juta
Rp. 5000
Rp. 20 milyar
Rp. 240 milyar
Rp. 1 juta – 2 juta
3 juta
Rp. 10.000
Rp. 30 milyar
Rp. 360 milyar
Rp. 2 juta – 5 juta
2 juta
Rp. 50.000
Rp. 100 milyar
Rp. 1,2 triliun
≥ Rp. 5 juta
1 juta
Rp. 100.000
Rp. 100 milyar
RP. 1,2 triliun
Total
Rp. 3 Triliun
Sumber : Mustafa E. Nasution (2006)
Melalui wakaf uang, harta benda yang diwakafkan wakif didayagunakan untuk mencapai kemanfaatan jangka panjang dan arus yang tidak stagnan. Wakaf uang yang dikelola oleh nadzir diputararuskan untuk motif profit oriented dimana keuntungan tersebut tetap akan didistribusikan kembali untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat luas dengan tidak meninggalkan hakikat dari wakaf itu sendiri.
Menurut Syauqi Beik, wakaf uang (wakaf tunai) merupakan dana atau uang yang dihimpun oleh institusi pengelola wakaf (nadzir) melalui penerbitan sertifikat wakaf uang yang dibeli oleh masyarakat. Dalam pengertian lain wakaf uang dapat juga diartikan mewakafkan harta berupa uang atau surat berharga yang dikelola oleh institusi perbankkan atau lembaga keuangan syari’ah yang keuntungannya akan disedekahkan, tetapi modalnya tidak bisa dikurangi untuk sedekahnya, sedangkan dana wakaf yang terkumpul selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa.
Dilansir dari laman Radar Cirebon.com, didapatkan data bahwa sepanjang Oktober 2008 telah tercatat 238 lokasi tanah wakaf di Kota Cirebon. Ada beberapa titik wakaf di seluruh kecamatan seperti di kecamatan Kejaksan ada 54 lokasi, Kesambi 87 lokasi, Pekalipan 22 lokasi, Lemahwungkuk 37 lokasi dan Harjamukti sebanyak 76 lokasi. Minat masyarakat dalam memberikan wakaf tanah di Kota Cirebon cukup tinggi meskipun harga tanah di Kota Cirebon tergolong cukup mahal. Berdasarkan data Kemenag Kota Cirebon pada tahun 2015, terdapat pertambahan jumlah wakaf tanah yaitu sekitar 10 lokasi tanah wakaf yang terdiri dari delapan lahan kosong dan dua lokasi tanah wakaf yang sudah terdapat bangunan masjid diatasnya. Tanah wakaf tersebut ada di 3 kecamatan Kota Cirebon, yaitu Kecamatan Harjamukti, Lemah Wungkuk dan Kesambi[5]. Potensi tersebut tentulah bisa memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat Kota Cirebon apabila dalam pengelolaanya dapat dikelola dengan manajemen yang baik, terutama berkaitan dengan pemanfaatan lahan kosong yang belum dapat dimaksimalkan ataupun dikelola dengan baik oleh nadzir sebagai pihak pengelola.
Gagasan kombinasi antara wakaf tanah dengan wakaf  tunai ini dapat menjadi solusi atau alternatif pilihan dalam pemanfaatan tanah wakaf yang kosong untuk diproduktifkan melalui aliran dana yang didapatkan dari wakaf uang. Wakaf uang yang dimaksudkan disini adalah wakaf uang yang diinvestasikan melalui instrumen syariah lainnya seperti obligasi syariah, saham syariah, reksadana syariah, asuransi syariah dan lain sebagainya.  Keuntungan yang didapatkan dari kegiatan investasi tersebut, sebagian dana dialokasikan untuk pemberdayaan wakaf tanah. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan wakaf tanah produktif tidak hanya menunggu bantuan dari pemerintah pusat saja, yang terkesan berbelit-belit dengan sistem birokrasi yang ada. Akan tetapi ada alternatif lain yang dapat digunakan yakni melalui profit yang didapatkan dari investasi wakaf uang.
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah yang dapat dilakukan oleh nadzir sebagai pihak pengelola adalah dengan melakukan pemetaan terhadap tanah-tanah wakaf yang tersebar di berbagai kecamatan di Kota Cirebon. Melakukan pembagian sektor-sektor, rancang bangun lokasi dimana tanah wakaf tersebut diproduktifkan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti meninjau letak geografis, menyesuaikan dengan struktur dan kondisi tanah. Misalkan saja di daerah Harjamukti, dana dari wakaf uang dapat dialokasikan untuk membangun hotel syariah atau tempat penginapan mengingat lokasinya yang satu kecamatan dengan Termnial Harjamukti yang cenderung ramai dengan aktivitas mobilitas penduduk. Kemudian hasil sewa dari bangunan tersebut dapat dikelola oleh nadzir untuk kepentingan umat. Begitupun dengan lokasi tanah wakaf lain yang tersebar di beberapa wilayah  dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar tanpa meninggalkan esensi dari wakaf.
 Seiring perkembangan zaman dan arus globalisasi yang tidak dapat dibendung, serta perkembangan tekonologi yang semakin maju, memunculkan adanya inovasi-inovasi baru dalam berbagai bidang tidak terkecuali dalam dunia perwakafan nasional. Inovasi-inovasi tersebut tidak lain diperuntukkan untuk pengembangan wakaf agar potensi wakaf yang ada di Indonesia dapat dikelola dengan baik dan dapat mensejahteraan masyarakat luas untuk mencapai salah satu tujuan negara yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA
Nafis , Cholis. 2009.  Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial. Jurnal Al-Awqaf, Vol II. Nomor 2.

Nasution, Mustafa Edin. 2006.  Wakaf Tunai dan Sekor Volunteer. Dalam Mustafa Edin
Nasution dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam. Jakarta
: PSTTI UI
Soemitra, Andri. 2009. Bank & Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Kencana

Undang-Undang Nomor 41 Tentang Wakaf, Departemen Agama Ri, Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji. 2005.





Footnote :

[1] Undang-Undang Nomor 41 Tetang Wakaf, Departemen Agama Ri, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005, hlm. 3.
[2] Andri Soemitra, “Bank & Lembaga Keuangan Syariah” (Jakarta : Kencana, 2009), Edisi II, hal. 456.
[3] Cholis Nafis, “Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial”, Jurnal AL-Awqaf, Vol II. Nomor 2, April 2009.
[4] Mustafa Edin Nasution, “Wakaf Tunai dan Sekor Volunteer”, dalam Mustafa Edin Nasution dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, (Jakarta : PSTTI UI, 2006), hlm 43-44.
[5] www.radarcirebon.com Diakses pada 22 Desember 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar